Cerpen Karangan: Gita Fadia
Lolos moderasi pada: 11 October 2015
“Shinta, aku seneng banget bisa masuk di SMP ini. Apalagi satu bangku sama kamu” ujar Fira bahagia.
“iya Fir, aku juga seneng banget. Kita jadi bisa kenal banyak temen.” balas Shinta tak kalah bahagia.
Pelajaran pun telah dimulai, pelajaran pertama ini ialah Bahasa Indonesia gurunya ialah Bu Luluk. Ia guru yang cantik, baik hati dan sabar. Bu Luluk memberi tugas kepada kami untuk menulis cerpen dari buku yang telah Bu Luluk bawa. Saat Shinta sedang mengerjakan tugas, tiba-tiba teman depan Shinta bertanya.
“hai, kenalin namaku Lila. Oh iya, pengarangnya ditulis apa enggak?” tanya Lila, teman depan Shinta.
“iya, namaku Shinta. Oh, itu katanya Bu Luluk tadi pengarangnya ditulis.” jawab Shinta dengan tersenyum.
“makasih ya Shinta.” balas Lila.
“ya sama-sama” timpal Shinta, lalu ia melanjutkan mengerjakan tugas dari Bu Luluk.
Bel istirahat pun berbunyi, Shinta dan Fira pun berjalan menuju kantin. Setibanya di kantin, Shinta dan Fira membeli bakso.
Tiba-tiba Lila datang.
“aku boleh gabung nggak?” tanya Lila kepada Shinta dan Fira.
“ya boleh lah.” jawab Shinta dan Fira bersamaan.
Di kantin, Lila dan dua sahabat itu berbincang-bincang. Setelah selesai, mereka pun kembali ke kelas dan melanjutkan tugas yang belum selesai. Setelah beberapa jam pelajaran, akhirnya bel pulang telah berbunyi.
“Shinta, Firarumah kalian dimana?” tanya Lila dengan membereskan bukunya yang berada dimeja.
“jalan Sumatera nomor 10, jalan Sulawesi nomor 1″ jawab Shinta dan Fira bersahutan.
“ohh, ya udah aku pulang dulu ya” pamit Lila lalu meninggalkan Shinta dan Fira. Shinta dan Fira pun segera mengambil sepeda di tempat parkir. Setelah lima belas menit akhirnya Shinta dan Fira sampai di rumah mereka masing-masing.
Shinta, sampainya di rumah ia langsung makan, bagitu juga dengan Fira. Sore telah datang, mereka pun mandi lalu membersihkan rumahnya. Sore telah berganti malam, Shinta dan Fira mulai belajar didampingi oleh orangtua mereka masing-masing. Setelah belajar mereka langsung tidur. Matahari telah memancarkan sinarnya, Shinta dan Fira pun berangkat ke sekolah bersama. Sampai di kelas, Shinta, Fira dan Lila pun bercanda bersama.
“tugas kalian udah kan?” tanya Lila kapada Shinta dan Fira.
“udah dong!!” jawab mereka bersamaan.
“cielah, mentang-mentang bersahabat terus jawabnya kudu barengan?” sindir Lila, lalu mereka tertawa lepas bersama.
Bel pelajaran pun telah berbunyi, setelah tiga jam pelajaran akhirnya bel telah berganti dengan bel istirahat.
“Shin, kamu mau beli apa?” tanya Fira.
“emm, roti mungkin.” jawab Shinta, lalu mereka kembali, dan duduk di teras depan kelas.
“kalian mau?” tawar Lila membawa kue brownies.
“mau, mau!” jawab mereka bersamaan lalu mengambil sepotong kue brownies, kami pun mengobrol.
Hari demi hari telah berlalu, mereka telah memasuki minggu keempat bersekolah di sini. namun ada yang berbeda dari Shinta, akhir-akhir ini ia sering pingsan, entah di kelas, saat upacara. Ia juga sering mengeluh sakit kepala, dan wajahnya sering pucat. Hari ini hari senin, itu artinya kami harus mengikuti upacara. Shinta berada di depanku, saat di tengah-tengah jalannya upacara tiba-tiba Shinta jatuh pingsan.
“Shinta!!” jerit Fira saat Shinta terjatuh. Dengan segera Kakak-kakak PMR membawa Shinta ke UKS menggunakan tandu. Selesai upacara Fira lalu menuju UKS untuk menemani Shinta.
“Shinta, kamu nggak apa-apa?” tanya Fira khawatir.
“nggak apa-apa Fir, aku udah baikan kok. Ayo kita balik ke kelas.” jawab Shinta lemas.
“tapi Shin, ya udah deh.” jawab Fira lalu membantu Shinta turun dari ranjang UKS.
Bel pulang telah berbunyi, Fira pun mengantar Shinta pulang ke rumahnya. Sampai di rumah Shinta, Fira langsung memasuki rumah Shinta.
“Fira, ada apa dengan Shinta?” tanya Ibu Shinta panik.
“itu Tante, tadi Shinta pingsan saat upacara.” jawab Fira lalu pamit untuk pulang. Ibu Shinta sangat khawatir dengan keadaan Shinta akhir-akhir ini.
Akhirnya Ibu Shinta membawa Shinta ke rumah sakit untuk diperiksa. Setelah beberapa menit diperiksa akhirnya dokter selesai memeriksa Shinta.
“bagaimana dok keadaan anak saya?” tanya Ibu panik.
“begini bu, bila dilihat dari pemeriksaan saya sepertinya Shinta harus dibawa ke lab. Untuk tes darah dan foto rontgen.” jawab dokter di meja kerjanya, lalu memberikan surat yang dimasukkan ke dalam amplop.
“baik dok, bila itu yang harus saya lakukan akan saya lakukan secepatnya dok.” jawab ibu Shinta sedih.
Malam mulai datang, Shinta pun telah tertidur pulas. Saat Shinta tertidur ibu Shinta hanya dapat berdoa agar Shinta tak kenapa-kenapa. Esok mulai datang, Fira telah bersiap untuk menjemput Shinta.
“Shinta, Shinta” panggil Fira di depan rumah Shinta, namun yang ke luar bukanlah Shinta melainkan Ibunya.
“Fira, kayaknya Shinta nggak bisa masuk hari ini. Dia lagi sakit.” ujar Ibu Shinta lalu memberikan amplop putih kepada Fira. Sampainya di sekolah, Fitra langsung memberikan surat itu kepada sekertaris.
“Fira, ke mana Shinta?” tanya Lila bingung.
“Shinta lagi sakit La.” jawab Fira sedih, Lila hanya menjawab dengan mulut yang berbentuk lingkaran.
Jam telah menunjukkan pukul sembilan, Shinta telah bersiap-siap untuk ke lab bersama Ibunya. Sampai di lab, Shinta langsung dites darah dan difoto Rontgen bagian kepalanya. Setelah itu, Shinta dan Ibunya pulang. Di mobil Shinta bertanya.
“Ibu, memangnya aku sakit apa? Oh iya, aku besok boleh masuk sekolah kan bu?” tanya Shinta penasaran.
“gak tahu sayang, kita berdoa aja semoga sakitnya nggak parah ya” jawab Ibu Shinta mengelus puncak kepala Shinta lembut. Shinta hanya mengangguk tersenyum. Akhirnya mereka telah sampai di rumah, di sekolah pun sama. Bel pulang telah berbunyi, Fira dan Lila tak segera pulang tetapi ia memilih menuju rumah Shinta untuk menjenguk sahabat tersayangnya.
Samapai di rumah Sinta, ternyata Ibunya berada di luar rumah jadi Fira dan Lila langsung masuk rumah Shinta.
“Shinta, kamu sakit apa? Besok kamu masuk sekolah kan?” tanya Fira bertubi-tubi.
“nggak apa-apa Fir, ya aku besok masuk kok. Eh, ada Lila.” jawab Shinta dengan tertawa. Mereka pun melanjutkan ngobrolnya begitu lama.
Pagi yang begitu cerah telah datang, Shinta dan Fira berangkat sekolah bersama. Ibu Shinta mengambil hasil lab-nya sendiri tanpa ditemani Shinta. Sampai di sana Ibu Shinta langsung menemui sang dokter yang memeriksa Shinta kemarin.
“dok, bagaimana hasilnya kemarin?” tanya Ibu Shinta khawatir.
“yang sabar ya bu.” dokter memberikan amplop cokelat besar kepada Ibu Shinta. Lalu Ibu Shinta membuka surat keterangan, batapa terkejutnya Ibu Shinta saat membaca isi surat keterangan itu.
“dokter ini, ini mungkin dokter salah!” ujar Ibu Shinta tak percaya, tak terasa butiran bening mulai menetes dari pelupuk matanya.
“iya bu, Shinta terkena kanker otak stadium akhir. Mungkin umurnya tak lama lagi” jelas dokter tersebut. Ibu Shinta hanya dapat menangis, meratapi nasib yang menerpa anak satu-satunya itu.
Setelah itu Ibu Shinta pulang. Sampai di rumah Ibu Shinta menyimpan amplop tersebut agar Shinta tak dapat menemukannya.
“Shinta kamu nggak apa-apa? Muka kamu pucat banget loh!!” tanya Fira khawatir.
“nggak apa-apa, tapi kenapa kepalaku sakit banget ya?” jawab Shinta memegangi kepalanya yang sakit.
“tuh kan kamu sakit ayo ke UKS.” pinta Fira.
“nggak usah Fir, irang bentar lagi pulang.” tolak Shinta yang menahan sakit kepalanya utuk beberapa saat.
Tak selang berapa lama akhirnya bel pulang telah berbunyi, Shinta telah dijemput oleh sopirnya. Sampai di rumah, Shinta langsung menemui Ibunya.
“bu, sakitku nggak parah kan?” tanya Shinta. Ibunya tak dapat menjawab, namun ia memeluknya dengan penuh rasa sayang. Shinta bingung dengan perilaku Ibunya saat ini, namun ia menerima pelukan Ibunya tersebut.
“Ya Allah apa aku harus menceritakan apa yang dialami Shinta saat ini?” tanya Ibu Shinta kepada diri sendiri.
Dua hari telah berlalu, hari ini hari libur. Shinta sering memanfaatkan hari liburnya untuk membersihkan rumahnya.
“dek, Ibu mau pergi ke rumah temen Ibu dulu ya?” pamit Ibu Shinta lalu mencium kening anaknya tersebut. Shinta pun mulai membersihkan rumahnya, saat ia membersihkan kamar Ibunya.
“ini apa? Laboratorium?” tanya Shinta mengangkat amplop besar itu. Dengan penuh rasa penasaran Shinta membuka amplop itu, lalu ia baca.
“Kanker Otak Stadium akhir?!” ujar Shinta kaget, tak terasa butiran bening menetes dari matanya yang indah.
“aduh!!” erang Shinta memegangi kepalanya yang sakit. Lalu ia sudahi beres-beres rumahnya. Siang mulai datang, Ibu Shinta pun telah tiba di rumah.
“Ibu, penyakitku parah ya?” tanya Shinta tiba-tiba.
“enggak sayang, kamu nggak sakit parah kok.” jawab Ibu menahan tangisnya.
“Ibu bohong!! Aku sudah tahu semua bu.” ujar Shinta dengan suara yang keras, Ibu Shinta tak dapat berkata apa-apa. Ia hanya bisa menagis dengan memeluk anaknya.
“maaf sayang, Ibu telah berbohong” jawab Ibu dengan suara yang serak karena menangis.
Hari-hari terus berlalu, ia memberi kenangan indah di dalam hari-harinya. Tak lupa Shinta membeli hadiah untuk hari ulang tahun Fira minggu depan. Hari yang ditunggu pun telah datang, Shinta berangkat sekolah dengan diantar oleh Ibunya tak lupa ia membawa kado untuk Fira.
“hai Shinta?” sapa Fira dengan muka yang gembira.
“hai juga Fira” balas Shinta mencubit pipi chuby Fira, mereka pun mengobrol begitu asyik. Bel istirahat pun telah berbunyi, mereka bertiga pun pergi ke kantin bersama.
“gimana, udah sembuh?” tanya Lila di sela makan-makan kami.
“udah kok!!” jawab Shinta mengedipkan mata. Bel masuk telah berbunyi, setelah beberapa jam pelajaran akhirnya bel telah berganti dengan bel pulang. Sebelum mereka pulang, Shinta mengajak mereka berkumpul di taman.
“selamat ulang tahun Fira!!” ujar Shinta dan Lila bersamaan dengan memberikan sekotak kado untuk Fira. Fira terlihat kaget, lalu menerima kado tersebut.
“Fira, aku senang memiliki sahabat sepertimu. Aku sayang banget sama kamu.” ujar Shinta memeluk Fira.
“iya Shin, aku juga senang punya sahabat sepertimu” jawab Fira.
“Lila aku juga senang punya sahabat sepertimu, kamu baik pengertian banget sama aku.” ujar Shinta memeluk Lila. Lalu kami berpelukan bersama, sebelum Lila pulang, Shinta memberi sebuah amanah.
“Lila, tolong jagain Fira ya? Jadi sahabat terbaiknya, sayangin dia kayak kamu menyayangi aku.” ujar Shinta, lalu ia pergi.
Sampai di rumah, Shinta langsung tidur. Usai tidur, Shinta mengerang kesakitan. Ibu Shinta pun membawa Shinta ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, Shinta langsung ditidurkan di kasur rumah sakit.
“dok ini anak saya kenapa?” tanya Ibu Shinta panik. Dokter pun mengambil tindakan untuk mengoperasi Shinta, namun sayang Allah berkehendak lain. Shinta meninggal saat operasi berlangsung. Akhirnya dokter ke luar dari ruang operasi.
“bu, tim kami telah berusaha sebisa kami. Namun Tuhan berkehendak lain. Shinta telah tiada bu, sabar ya bu.” ujar dokter memegang pundak Ibu Shinta.
“enggak dok, dokter bohong kan?” elak Ibu tak percaya, lalu Ibu berlari memasuki ruang operasi.
“Shinta!!! Ibu sayang sama kamu nak, jangan tinggalin Ibu sayang!!” ujar Ibu memeluk tubuh Shinta yang tak bernyawa. Ibu pun memberitahu Fira dan Lila tentang keadaan Shinta saat ini.
Fira dan Lila pun segera menuju rumah sakit. Sampainya di rumah sakit Fira langsung memeluk tubuh Shinta yang kaku.
“Shinta!! Jangan pergi, aku masih butuh kamu Shin!!” ujar Fira dengan air mata yang terus mengalir dari matanya.
“sabar Fir, sabar. Kamu harus ikhlas.” ucap Lila menenangkan Fira.
Upacara pemakaman Shinta pun akan diadakan, semua orang menggunakan pakaian serba hitam. Setelah Shinta dimasukkan ke tempat peristirahatn terakhirnya, semua orang kembali pulang, namun Lila dan Fira masih menunggu di makam Shinta.
“Shinta, aku akan selalu jadi sahabatmu. Karena kita sahabat sejati. Shinta terima kasih atas kadomu yang terakhhir kalinya.” ucap Fira memeluk batu nisan yang bertuliskan ‘Shinta Ramadhani’.
Cerpen Karangan: Gita Fadia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar